Minggu, 09 Januari 2011

DAYA TARIK – MAGNET KOTA BATAM


DAYA TARIK – MAGNET KOTA BATAM

Apa yang Menarik di Batam (1)
 
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam lima seri tulisannya.
___________________________
Berkunjung Ke Pulau "Nguyen"
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Itu pertanyaan pertama yang saya lontarkan pada resepsionis di Hotel Nagoya Plaza. Saya berharap mendapat jawaban yang memuaskan karena saya hanya punya satu hari saja di Batam. Tetapi si resepsionis malah bertanya, "Aduh, dimana ya?"
Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Untunglah saat berkunjung ke Patria Tour yang masih bersebelahan dan bahkan satu atap dengan Hotel Nagoya Plaza, dua gadis belia yang saya temui dengan responsif menjelaskan kemungkinan saya berkunjung ke Barelang. Itu bukan saudara kembar "belerang", tetapi singkatan dari Batam-Rempang-Galang. Dulu tiga pulau yang berdekatan ini bagian dari Provinsi Riau, tetapi setelah pemekaran kini masuk ke Provinsi Kepulauan Riau.
"Pulau Galang?" Tanya saya.
"Benar. Pulau Galang. Di sana Bapak bisa menemukan barak bekas pengungsi Vietnam, dimana sebelumnya Bapak akan melewati enam Jembatan Balerang," jawabnya langsung ke sasaran.
Ah, Pulau Galang. Pengungsi Vietnam.
Sejenak ingatan melayang ke masa lalu, 23 tahun lalu. Saat duduk di bangku perguruan tinggi, saya pernah membaca sebuah novel bersampul merah dengan judul, kalau tidak keliru, "Mendung Di Atas Vietnam" Saya lupa siapa penulisnya. Judulnya pun mungkin tidak tepat begitu. Tetapi isi ceritanya yang masih saya ingat benar sampai sekarang!
Novel lawas itu bercerita tentang pengorbanan cinta gadis belia pengungsi Vietnam bernama Nguyen yang terdampar di Pulau Galang, sebuah pulau berjarak kurang lebih 80 kilometer dari Pulau Batam. Nguyen telah kehilangan semua saudara-sadara dekatnya karena dibantai rezim komunis saat itu. Ia diselamatkan tetangganya dan dinaikkan ke kapal kecil, lebih tepat disebut tongkang kayu, untuk berlayar tanpa tujuan asalkan bisa keluar dari neraka Vietnam.
Nguyen. Kalau saja saat itu si pengarang tahu wajah aktris Malaysia Michelle Yeoh, mungkin ia akan sepikiran dengan Andrea Hirata dalam menggambarkan Nguyen sebagai si cantik Yeoh. Tapi saat novel itu disusun, Yeoh mungkin masih mengenakan celana monyet atau kemana-mana tanpa "bra" karena memang masih kanak-kanak.
"Benarkah reruntuhan barak dan bekas-bekas pengungsi Vietnam masih tersisa di Pulau Galang?" tanya saya lagi.
"Saya tidak bisa cerita banyak kecuali Bapak mengunjunginya," katanya.
Ah Nguyen!
Saya coba mengingat lagi Nguyen di novel yang saya baca dan saya beli dari Pasar Palasari Bandung itu. Seorang gadis yang dengan sukarela menyerahkan kegadisannya kepada pria pribumi, yakni si tokoh aku, seorang perjaka "toloheor" (kata orang Sunda) alias play boy berat. "Aku yakin semua gadis Vietnam sudah tidak perawan bahkan sebelum sampai ke Pulau Galang. Apalagi setelah sampai di Pulau Galang, gadis pengungsi Vietnam biasa menyerahkan tubuhnya kepada penguasa untuk menjaga kelangsungan hidupnya," demikian kira-kira si tokoh aku berprasangka.
Si tokoh aku hanya main-main saja mencintai Nguyen, sebaliknya Nguyen mencintai si aku, pria Indonesia itu, dengan tulus. Si pria Indonesia sudah terlalu sering gonta-ganti perempuan, dan masih menganggap Nguyen "korban berikutnya". Waktu pun tiba, dalam kesenyapan malam dan temaram bulan yang menyelinap hutan Pulau Galang, si pria Indonesia bergumam setelah melampiaskan hasratnya. "Nguyen, rupanya kau masih perawan!" Dan Nguyen hanya bisa terisak…
Nah, itulah novel. Tetapi beberapa saat lagi, saya akan segera menemui jejak-jejak maya Nguyen, sebuah sosok entah ada entah tiada, hanya penulis novel itu sendiri yang tahu. Apa pedulinya. Yang jelas, saya akan segera berkunjung ke Pulau Galang yang pada tahun 1979 dijadikan tempat berlabuh ribuan pengungsi Vietnam akibat prahara politik di sana. Di benak saya, Nguyen "masih hidup" dan ada di pulau itu.
Saya sepakat begitu saja untuk menyewa sebuah mobil travel seharga Rp 600.000 plus sopir. Kapasitas mobil itu 14 sampai 17 orang. Tetapi, saat mobil mulai melesat menuju jalan lurus dan mulus menuju Pulau Galang, hanya terisi tiga orang saja. Saya, istri saya, dan sopir bernama John. Setidak-tidaknya itulah yang tertulis di kartu namanya. Padahal nama aslinya Ahmad Furqon.
"Saya tidak tahu panggilan saya John, tetapi dulu guru SMP saya sering memanggil saya John," kata Furqon, eh… John, saat mobil masih terhadang satu lampu lalu lintas di Jalan Imam Bonjol, Batam.
"Nah, kita siap-siap menuju Jembatan Barelang sebelum singgah ke Pulau Galang," kata John.
"Apa istimewanya sebuah jembatan?" Tanya saya.
"Bukan ‘sebuah’, enam jambatan, Pak."
Enam, sepuluh, seratus, berapapun jumlahnya jembatan sama saja… gumam hati saya saat duduk di samping kiri John. John mengemudi agak serabutan. Istri saya di belakang terperangkap kantuk akibat AC mobil yang sejuk, sementara di luar udara amat menyengat, padahal baru pukul 10.00, Selasa, 20 Mei 2008 lalu.
"Jembatan ini sekarang menjadi simbol Batam, Pak, bukan pabrik lagi," katanya. Diam-siam saya keluarkan ponsel internet saya, menelusur di Google Mobile dan memasukkan kata kunci "Jembatan Barelang". Got it! Saat John berceloteh tentang jembatan itu, saya sudah langsung memahaminya hanya lewat ponsel internet di telapak tangan. Terima kasih, teknologi informasi!
"Jembatan itu dibangun atas ide dan inisiatif Pak Habibie ‘kan, John?"
John menoleh, "Kok Bapak Tahu?"
"Mulai dibangun tahun 1992 dan orang Batam menyebutnya ‘Jembatan Habibie’!"
"Ah, Bapak malah lebih tahu!"
Saya tertawa ngakak, entah mengagumi teknologi internet atau menertawakan ketidaktahuan John kalau saya tengah berselancar melalui ponsel berinternet. Saya yakinkan John bahwa meskipun tahu sejarahnya, tetapi belum tahu ujudnya.
"Sekarang saya ingin tahu ‘wajah’ jembatan itu," kata saya.
"Cantik, Pak, kita segera menuju ke sana…"

Sumber :
Apa yang Menarik di Batam? (2)
Kepiting dan udang tepung Barelang.
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam lima seri tulisannya.
___________________________

"Enam Bersaudara" Jembatan Barelang

Bicara soal jembatan, sebuah "ikon" Kota Batam yang ditawarkan John, sopir yang mengantar saya menelusuri jalan lurus menuju Pulau Galang, saya teringat Golden Gate Bridge di Teluk San Francisco, Amerika Serikat, yang menghubungkan San Francisco dengan California. Seperti itukah Jembatan Barelang?

Dari kejauhan, saya belum melihat Jembatan Barelang. Tetapi dua pucuknya di kiri dan kanan menjulang ke langit membentuk kerucut, terlihat samara dari kejauhan. Pucuk kerucut sampai ke jalan raya mencapai 200 meter. Alangkah tingginya pucuk itu, gumam saya. Melihat pucuk yang menjadi titik tumpu kekuatan itu, saya juga teringat "ikon" baru Kota Bandung berupa jembatan layang di atas Pasteur.

"Itulah jembatan pertama dari enam Jembatan Barelang, Pak," kata John dengan pandangan tertuju ke depan.
"Apakah lima jembatan lainnya juga menjulang setinggi itu?"
John menjawab, "Tidak, hanya jambatan inilah yang terbagus. Lainnya biasa saja."

Hemh, boleh juga Kota Batam ini, pikir saya. Tapi persoalan yang saya baca dari hari ke hari, adalah wajah industri Batam yang semakin muram. Banyak investor yang semula terkonsentrasi di Kawasan Industri Batamindo Muka Kuning, hengkang ke negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Alasan investor, karena adanya dualisme aturan yang membingungkan dunia usaha; aturan Pemerintah Kota Batam dan aturan Otorita Batam. Kerap karena ingin saling unjuk pengaruh, masing-masing aturan saling berbenturan, bukan malah saling melengkapi dan mendukung.

Pemerintah pusat bukannya tidak mengetahui persoalan ini. Pernah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyapa dan mengundang kembali para pengusaha agar menanamkan modalnya di Batam, bukannya di negara tetangga. Tetapi dalam dunia bisnis, imbauan penguasa atau raja sekalipun belumlah cukup. Para pengusaha tidak butuh cumbu rayu atau pemanis kata-kata penguasa. Yang mereka butuhkan adalah aturan yang tegas, aturan yang tidak membingungkan, aturan yang tidak mendua.

Mereka, para pengusaha itu, tidak keberatan dengan membayar pajak, asalkan pajak yang jelas, bukan "pajak siluman" yang harus menjadi beban pengusaha, mulai "pajak siluman" dari oknum aparat keamanan, oknum legislatif dan eksekutif, bahkan "uang keamanan" untuk sejumlah organisasi massa. Kalau para pengusaha sudah pada lari ke luar negeri, akibatnya sangat mengerikan.

Selain akan dipenuhi para pengangguran, Batam hanya akan menjadi rongsokan pabrik yang kosong di Muka Kuning. Akibatnya, tidak ada lagi pemasukan bagi kas daerah yang kelak mungkin hanya mengandalkan sektor wisata yang tidak seberapa nilainya karena tidak pernah digarap serius. Contohnya ya enam Jembatan Barelang ini.

Jembatan ini dibiarkan terentang apa adanya, sekadar pelepas penat warga Batam yang ingin menghirup udara segar di atasnya sambil memandang laut dan pulau-pulau kecil di bawahnya. Barelang yang dirancang sebagai kawasan industri terbesar negeri ini, hanya tinggal rencana di atas kertas. Ini kenyataan yang tak terbantahkan, paling tidak sampai saat ini.

Sinyal GSM yang memungkinkan ponsel internet bisa beroperasi sudah mulai putus. Tetapi beruntung tadi saya sempat membaca bahwa adanya Jembatan Barelang berkat jasa dan ide Pak Habibie. Beliau adalah mantan Presiden RI yang hanya menjabat 2,5 tahun sebelum digantikan Abdurrahman Wahid. Tetapi orang lebih mengenang Habibie sebagai "jagoan teknologi", teknokrat ulung yang mengembangkan pabrik pesawat IPTN di Bandung, meski kemudian pabrik pesawat terbang yang berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) itu kini merana.

Sebanyak 50 insinyur aeronotika godokan IPTN sudah hengkang ke Malaysia, diiming-imingi pekerjaan dan kehidupan yang layak. Jangan heran, setelah memproduksi mobil Proton yang sudah berserakan di jalan-jalan Jakarta, sebentar lagi negeri jiran ini sudah bangga dengan pesawat produksi sendiri. Ratusan insinyur IPTN lainnya bekerja di pabrik-pabrik pesawat Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Spanyol, Brasil, dan negara lainnya. Ketika Habibie lengser dan nyaris tidak punya pengaruh apa-apa lagi, "menara pasir" tanpa fondasi kuat yang didirikannya pun ikut tersapu angin. Kalaupun masih ada, itu tinggal rangka-rangkanya saja.

Habibie adalah teknologi dan teknologi adalah Habibie. Di Jembatan Barelang yang sebentar lagi akan saya injak, saya kembali teringat jasa Pak Habibie. Bagaimanapun, beliau punya konsep mengenai Batam, Rempang dan Galang ini, yang bermaksud tidak hanya membangun Pulau Batam yang sudah penuh sesak dan jenuh, tetapi dengan melebarkan kawasan industri sampai ke Pulau Rempang dan Pulau Galang. Bahwa cita-cita tidak kesampaian, itu soal lain.

Saya percaya, ini bukan proyek tanpa konsep. Ada dasar pemikiran kuat, meski akhirnya saya tidak melihat perpindahan kawasan industri itu ke Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kawasan industri tetap saja umpel-umpelan di Kawasan Industri Batamindo Muka Kuning, Pulau Batam.

Nama resmi Jembatan Barelang itu sendiri sebenarnya Jembatan Tengku Fisabilillah, Raja yang memerintah Kerajaan Melayu Riau pada abad 15 hingga 18. Tetapi penduduk Batam dan sekitarnya terbiasa menyebut Jembatan Habibie, merujuk pada si empunya gagasan. Jembatan pertama yang ternyata kokoh namun indah ini menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton di titik terujungnya.

Membentang sepanjang 642 meter, jembatan yang mulai dibangun tahun 1992 itu tidak lebih dari jembatan gantung yang atasnya terentang kabel-kabel baja. Beberapa pilar beton raksasa ditanamkan ke dasar laut untuk menyangga badan jalan dengan empat jalur kendaraan di atasnya itu. Kabel-kabel baja sebesar lengan terikat di tepi jalan dengan jarak yang sudah dihitung, lalu seluruh ujungnya terkumpul di satu titik di atas puncak tonggak setinggi 200 meter.

Kalau dilihat dari jauh, nampaklah jembatan pertama Jembatan Barelang ini seperti jaring raksasa penjerat burung berbentuk segitiga, atau dilihat lebih jauh lagi, tampak seperti bayangan transparan piramida Mesir yang muncul dari permukaan laut!

John bercerita, kalau sore hari atau hari libur lainnya, jembatan ini penuh sesak oleh warga Batam dan pelancong yang menghabiskan waktu "menyantap" bulatan matahari kekuningan tergelincir di ufuk barat.
"Jadi kami boleh berhenti di Jembatan Habibie ini, John?" tanya saya.
"Tentu, Pak, saya ajak Bapak ke sini ini memang untuk menikmatinya. Silakan!" Toyota berkursi 14 yang tidak beredar di Jakarta ini menepi di kiri jalan. Saat menepi, beberapa pedagang asongan yang menawarkan gorengan udang dan gorengan kepiting menghampiri.
"View first, then cullinaire," pikir saya. Lantas saya pun mengeluarkan Canon saku saya dan mulai membidik sana-sini. Setelah itu, barulah saya berpaling ke pedagang asongan tadi.

Saya tertarik dengan penganan itu bukan karena lapar, tetapi karena cara penyajiannya yang mengundang penasaran. Lima udang dijajarkan dan seperti menempel di lidi, kemudian digoreng dengan tepung berwarna kuning. Hasilnya adalah goreng udang tepung yang berongga besar dengan lidi sebagai "porosnya". Pedagang menawarkan Rp 10.000 untuk empat gorengan udang. Satu lagi gorengan kepiting besesar telapak tangan berwarna merah saga. Baru kali ini saya melihat kepiting diperlakukan seperti itu, yakni digoreng dengan tepung. Harganya lumayan mahal, Rp 25.000 per ekornya.

Saya tidak tertarik membelinya. Bukan karena saya tidak suka udang dan kepiting, tetapi karena tujuan saya ke Pulau Galang, tempat ribuan pengungsi Vietnam bernaung, belum tercapai. Lagi pula John memberi second opinion terhadap kepiting malang itu.

"Dua puluh lima ribu untuk sejentik daging kepiting, rasanya terlalu mahal, Pak," katanya.

Saya tidak mau mendebat John, tetapi saya ingin buru-buru melintasi empat jembatan lainnya agar bisa segera sampai ke Pulau Galang, pulau dimana gadis Vietnam bernama Nguyen hidup dalam bayang fantasi saya.

Apa yang Menarik di Batam? (3)
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam lima seri tulisannya.
_____________________________________________


Saksi Bisu Tiga Buah Perahu

Saya meneruskan perjalanan setelah puas menikmati Jembatan Habibie atau Jembatan Teungku Fisabilillah. Untuk sampai ke Pulau Galang, saya harus menempuh empat jembatan lagi, minus satu jembatan terujung yang menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru. Untuk itulah mengapa Jembatan Barelang yang merupakan kependekan dari Batam-Rempang-Galang itu memiliki enam jembatan.

Seperti yang saya ceritakan terdahulu, hanya satu jembatan yang paling fenomenal, baik dari struktur bangunan, panjang, maupun keindahannya. Kini saya sudah meninggalkan "Batam Coret", yang dapat saya lihat di rambu-rambu sebelum menuju pulau berikutnya, Pulau Tonton. Dari kaca spion mobil, saya melihat bayangan Jembatan Barelang berdiri indah dan megah dengan jalan di tengahnya yang tidak rata dan seperti terangkat tali-tali kawat baja.

Semakin menjauh, semakin jarang mobil yang melintas. Kalaupun ada yang melintas, saya masih bisa menikmati merek dan jenis-jenis mobil yang aneh-aneh, yang tidak beredar di Jakarta, mulai dari jeep, sedan, sampai kendaraan serba guna buat keluarga. Sesekali berpapasangan dengan mobil double-deck, yang bagian belakangnya memang dipergunakan untuk mengangkut kayu. Memang untuk semestinya. Di Jakarta, tidak pernah saya melihat bagian belakang mobil double-deck digunakan mengangkut kayu atau hasil bumi lainnya, melainkan ditutup terpal atau memasang aksesoris mahal lainnya. Pokoknya double-deck di Jakarta 100 persen buat "ngegaya", sementara double deck di Batam asli buat kerja.

Bagi peminat otomotif, yang mencolok saat kita keluar dari Bandara Internasional Hang Nadim, saat mencari taksipun sudah dihadapkan pada berbagai jenis dan merek kendaraan yang digunakan. Taksi yang saya tumpangi, misalnya, adalah Toyota hatchback yang dilengkapi airbag. Di Jakarta mungkin ada taksi yang dilengkapi alat keselamatan jika kendaraan berbenturan itu, tetapi itu masuk taksi "golden" atau "premium", yang tarifnya aduhai. Di Batam, saya menikmati taksi sedan yang nyaris tanpa suara, dilengkapi airbag, tetapi dengan tariff biasa.

Meski terlihat sudah agak out of date, tetap saja berbagai jenis mobil itu terkesan mewah buat saya. Bayangkan, Toyota Harrier, Celica dan RAV4, Nissan Terano, Mitsubishi Pajero built up, yang hanya ada dalam angan-angan saya itu, berseliweran di jalanan Batam. Semua mobil itu didatangkan dari Singapura dengan bea masuk yang nyaris nol persen, sehingga jatuhnya pun menjadi murah sesampainya di Batam. Di Singapura, mobil-mobil itu baru dipakai paling tidak 4-5 tahun, setelah itu "dibuang" ke Batam.

Itu berarti, mobil-mobil itu masih "gres" saat tiba di Batam. Jalanan yang mulus dan jarak tempuh yang terbatas, pastilah membuat kondisi mobil tidak cepat rusak. Tetapi, jangan harap mobil di Batam bisa keluar dari Batam yang dikenal sebagai kawasan berikat itu. Ah, itu teori. Buktinya saat saya bertugas di Aceh beberapa pekan setelah tsunami, banyak mobil-mobil eks-Singapura yang berhasil dikeluarkan dari Batam. Apa yang tidak mungkin di negeri ini, Bung!

Jembatan Tonton-Nipah, Nipah-Setoko, dan Setoko-Rempang sudah saya lalui. Kalau seluruh enam jembatan itu dibentangkan, panjangnya bisa mencapai dua kilometer. Pada sebuah ruas, John membelokkan mobilnya ke arah kiri.

"Kita memasuki bekas kamp pengungsi Vietnam, Pak," katanya. Wow, inilah yang saya tunggu-tunggu.

Saat kendaraan memasuki jalan yang lebih kecil setelah berbelok dari jalan besar, mata tertumbuk pada peta raksasa mengenai rencana pembangunan Pulau Galang. Saya menemui jalan bercabang. Ke arah kiri menuju Pelabuhan Karyapura, Masjid Baiturrahman, perumahan komunitas lokal atau penduduk asli Pulau Galang, dan Gereja Katolik Hati Kudus. Sementara ke arah kanan menuju bekas kamp pengungsi Vietnam. Sebuah papan petunjuk terbuat dari lempengan logam dengan cata dasar hijau bertuliskan EX CAMP VIETNAM.

"Kita langsung ke kanan saja, John," pinta saya.

John menurut. Mobil pun memasuki pintu gerbang.
"Bapak harus membayar tiket masuk," kata John. Tanpa diberi tahu pun sebenarnya saya sudah tahu. Saya mempersiapkan uang lembaran limapuluh ribuan. Saat menurunkan kaca mobil, seorang petugas melongok.
"Berapa orang, Pak?"
"Dua," jawab saya cepat, "Satu sopir travel"
"Duapuluh ribu saja," katanya.

Saya melirik John, maksudnya meminta jawaban kok harganya semurah itu, padahal kami bertiga masuk dengan mobil. Saya jadi ingat Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta, penumpang dihitung perkepala. Sialnya, kendaraan masuk pun kena hitung, seakan-akan kendaraan itu ingin ikut menikmati Ancol! Rupanya di Pulau Galang ini tidak.

"Biasaya kalau mobil penuh kami memungut biaya dupapuluh lima ribu rupiah. Tetapi karena hanya dua orang, ya cukup sepuluh ribu rupiah saja," kata petugas. Astaga, ternyata John tidak "direken" orang!

Setelah membayar, kami segera melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat. Di berbagai tempat terdapat plang bertuliskan "Galang, Memory of a Tragedic Past". Kalau saya terjemahkan secara bebas, mungkin bunyinya "Galang, Kenangan akan Tragedi Masa Silam". Segala fasilitas yang tersedia untuk pengungsi, masih ada di sana. Mulai dari barak tempat penampungan pengungsi, rumah sakit, sekolah, gereja, sampai kuburan. Tetapi mata saya langsung tertumbuk pada tiga perahu kayu. Inilah "malaikat penyelamat" nyawa para pengungsi Vietnam sesungguhnya yang terdampar di Pulau Galang!

Perahu. Tidak ada istimewanya dengan alat transportasi ini bagi saya. Beberapa tahun lalu saya dan teman-teman menyewa kapal yang tiga kali lebih besar dari tiga perahu yang ada di depan mata saya itu. Bukan karena terapung-apung mengungsi, tetapi sengaja mengapungkan kapal yang disewa belasan juta rupiah itu di tengah samudera di perairan antara Sulewesi dan Kalimantan semata-mata untuk bersenang-senang, yakni memancing ikan kakap di laut dalam. Sebuah pengalaman eksotis yang kemudian saya tulis di Harian Kompas.

Tetapi tiga perahu yang ada di depan saya itu, yang ukuran panjangnya saja tidak lebih dari lima belas meter, telah "berbicara banyak" dalam menyalamatkan puluhan nyawa pengungsi Vietnam yang berlindung di haluan sampai buritannya. Saya mencari-cari informasi mengenai tiga perahu itu. Tidak ada guide yang membimbing dan memberi saya informasi. Untunglah di depan tiga perahu itu ada plakat tiga alinea yang bunyi aliena pertamanya begini:

"Perahu kayu ini adalah sisa-sisa dari peninggalan pengungsi Vietnam yang sengaja ditenggelamkan di perairan Pulau Galang dan ada beberapa perahu yang dibakar oleh para pengungsi sebagai aksi protes dan penolakan pemulangan kembali ke negara Vietnam."

Saya membayangkan Nguyen, si perawan Vietnam dalam novel itu berada di salah satu perahu itu. Terbayang pula setelah ia diperdayai si lelaki "Toloheor" yang kemudian meninggalkannya begitu saja, Nguyen terlunta-lunta karena cinta sucinya yang kandas, yang tersia-sia begitu saja. Saya membayangkan saat para pengungsi itu diminta paksa keluar dari Pulau Galang, Nguyen meronta-ronta karena tidak mau dikembalikan ke Vietnam. Maunya ia ingin tinggal di Indonesia, hidup bersama lelaki yang merenggut kegadisannya, yang dikira mencintainya sepenuh hati.

Saya membaca aliena kedua plakat itu:

"Setelah peninggalan mereka dari Pulau Galang tahun 1995, perahu ini oleh Otorita Batam diangkat ke daratan kemudian diperbaiki dan dipamerkan untuk publik sebagai obyek yang bernilai sejarah."

Saya sangat setuju kalau tiga perahu itu bernilai sejarah. Saya tidak akan menyangkalnya. Tahun 1995. Artinya baru 13 tahun yang lalu terjadi prahara kemanusiaan yang menimpa pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Setelah merapat di Pulau Galang tahun 1979, setelah terapung-apung berbulan-bulan dan bahkan ada yang sampai terapung setengah tahun, mereka sampai di pulau ini dan mendapat perlindungan badan PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR. Dari 1979 ke 1995, itu artinya perjalanan waktu selama 16 tahun. Saya mulai menghitung-hitung…

Kala itu gadis Nguyen dalam novel dan hidup dalam fantasi saya itu berusia 17 tahun, gadis yang tengah mekar-mekarnya. Artinya, ia meninggalkan Pulau Galang saat usianya menginjak 33 tahun, usia yang menjadi ukuran puncak kedewasaan seorang perempuan, saat gurat-gurat kecantikan belum begitu banyak beranjak tergerus usia. Saya mau bilang, Nguyen pasti masih tetap cantik diusianya yang ke-33 saat ia dengan perasaan berat harus meninggalkan Pulau Galang, meninggalkan cintanya yang kandas. Nguyen, Nguyen…. dimana kamu sekarang?

Enam belas tahun. Tentu bukan waktu singkat. Saya bayangkan, di kamp pengungsian itu pasti ada bayi usia bulanan yang selamat saat pertama kali mereka. Maka ketika ia harus meninggalkan Pulau Galang, pastilah bayi itu sudah beranjak remaja, sama seperti saat Nguyen tiba. Kalau ada pengungsi Vietnam sudah berusia tua saat tiba di Pulau galang, pastilah ia juga meninggal dan ditanam di Pulau Galang. Maka kuburan pengungsi Vietnam akan menjadi fokus tulisan saya tersendiri, demikian pikir saya saat itu. Tetapi sekarang saya membaca alinea ketiga plakat itu:

"Perahu inilah yang dipakai para pengungsi mengarungi lautan Cina Selatan selama berbulan-bulan dan sejauh ribuan kilometer menuju berbagai belahan dunia dengan harapan dapat perlincungan dari negara lain, di antaranya sampai ke Pulau Galang ini dan sebagian dari mereka gagal mencapai daratan dan gugur di tengah lautan karena perahunya tenggelam".

Saya memandang dan bahkan memegang satu perahu yang bagian lambung kirinya sudah hancur akibat kuasa bakteri. Satu perahu lagi, di ujung kiri-kanan haluannya, tertulis TG 1050 TS. Saya memuaskan diri berlama-lama di depan tiga perahu yang menjadi "saksi hidup" hidup-mati para pengungsi Vietnam, termasuk Nguyen di dalamnya.

Setelah puas, saya bergegas menuju segerumbul tanaman teduh, tempat kuburan para pengungsi Vietnam yang meninggal di Pulau Galang. Saya akan menuliskan tentang kuburan bisu tetapi "bercerita banyak" ini dalam tulisan perjalanan berikutnya…


Apa yang Menarik di Batam? (4)
Minggu, 25 Mei 2008 | 09:05 WIB
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam enam seri tulisannya.
_____________________________________________
Kuburan Bisu yang Bercerita Banyak
Sesungguhnya, sebelum tiba di lokasi monumen atau "saksi hidup" tiga perahu yang digunakan pengungsi Vietnam untuk sampai di Pulau Galang, saya melewati satu kompleks kuburan khas China. Ingatan saya kembali hinggap pada masa lebih 30 tahun lalu, saat saya baru masuk taman kanak-kanak di desa saya, Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Seorang warga China kaya di desa saya bernama Tek Tjay, meninggal dunia. Saya kebetulan diajak orangtua mengantarkannya ke pemakaman khusus di Kota Tasikmalaya. Seperti makam warga China di Tasikmalaya itulah ornamen makam Vietnam yang saya lihat di Pulau Galang. Maka saya minta John berhenti saat kembali melewati kuburan itu.
"Tidak takut melihat-lihat kuburan orang mati, Pak?" Tanya John
Dimana ada kuburan orang hidup? Pikir saya.
"Saya kadang lebih takut sama orang hidup, John," kelakar saya.
Entahlah, kenapa juga saya selalu tertarik dengan kuburan. Tentu saja bukan karena saya ingin buru-buru menjadi penghuninya, tetapi bagi saya kuburan merupakan satu tempat bisu membeku tetapi sebenarnya memiliki banyak cerita. Kalaupun tidak ada prasasti di ujung atas sebuah kuburan, pastilah tulang-belulang yang tertanam di dalamnya punya cerita tersendiri.
Saat saya memasuki sebuah goa tempat orang mati digeletakkan begitu saja di Tanatoraja tahun 2003 lalu, misalnya, saya melihat tulang belulang dan tengkorak yang kadang sudah agak menghitam. Lantas imaji saya coba merekonstruksi saat daging, kulit, dan nyawa masih menjadi bagian tulang-belulang itu, saat si mati masih hidup. Saya bayangkan, ia mungkin seorang raja kaya yang berkuasa, perempuan cantik penakluk para pria kaya, atau orang-orang yang berpengaruh lainnya yang di kala hidupnya sangat dihormati dan dipuja-puja.
Tetapi setelah menjadi tulang-belulang… tak lebih dari kumpulan benda yang tak berharga apa-apa, yang bisa kapan saja dimangsa srigala. Orang, dan bahkan sanak-saudara segera lupa siapa kita ketika kita sudah menjadi penghuni abadi kuburan. Bukan begitu, Bung, Non!?
Itu sebabnya mengapa saya punya ketertarikan tersendiri terhadap kuburan. Bahkan pada 13 Juni 1996, satu tulisan saya di Harian Kompas, bercerita mengenai Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang No 1 Jakarta. Dalam museum terbuka atau Open Air Museum satu-satunya di Indonesia itu, tertanam rangka para orang-orang penting Belanda, mulai dari gubernur jenderal pertama sampai rakyat Belanda biasa yang mati di Batavia. Kepala Museum saat itu, Ralin Manik, bahkan bertanya mengapa saya tertarik menulis kuburan. "Rasanya baru Anda wartawan yang meliput di museum ini," katanya.
Kini saya berdiri di kuburan yang berbeda. Bukan di Tanah Abang tempat dimana orang-orang Belanda ditanam, tetapi saya berdiri di kuburan Vietnam di Pulau Galang. Pasti tanah beku ini juga punya cerita. Sepanjang 16 tahun, merujuk pada keberadaan pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang datang tahun 1979 hingga 1995, telah banyak pengungsi Vietnam yang meninggal di tempat ini karena berbagai sebab. Baik kematian alamiah atau karena depresi tak tertahankan akibat berbulan-bulan terkatung-katung di atas lautan sebagai manusia perahu, tercerai berai dari sanak-saudara dengan masa depan yang masih samara-samar.
Di depan pintu gerbang kuburan terdapat tulisan "Ngha Trang Grave" yang menunjukkan nama pemakaman itu. Di bawah gerbang, bersatu dengan nisan-nisan besar kuburan, terdapat satu inskripsi yang ditulis dalam lima bahasa, termasuk Bahasa Indonesia:
"Dipersembahkan kepada para pengungsi yang meninggal dunia pada waktu perjalanan menju kebebasan"
atau dalam bahasa Inggris, "Dedicated the people who died in the sea on the way to freedom".
Perkiraan saya tidaklah terlalu meleset mengenai sebab-sebab kematian para pengungsi itu. Depresi di sini bisa berarti bunuh diri karena tak tahan menanggung beban mental. Saya kemudian membaca plakat berisi empat alinea pengumuman yang sedikit-banyak bercerita mengenai kuburan itu. Aliena pertama dan kedua plakat itu berbunyi begini:
"Di pemakaman ini terdapat 503 makam terdiri dari makam pengungsi Vietnam dan Kamboja dengan agama yang berbeda yaitu Kristen dan Budha"
"Besarnya jumlah kematian saat itu diakibatkan karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah."
Saya tidak mengubah sedikitpun kata-kata yang tertulis dalam plakat itu. Saya biarkan apa adanya untuk memberi pemahaman utuh kepada pembaca. Sebanyak 503 makam, berarti sejumlah itulah warga pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang meninggal dunia. Kalau jumlah itu hanyalah10 persen dari pengungsi yang mati selama 16 tahun, bisa jadi sedikitnya pengungsi yang datang ke Pulau Galang sebanyak 5.000-an. Dari penelusuran sejumlah dokumen mengenai keberadaan pengungsi di hutan karet seluas 80 hektar itu, sedikitnya terdapat 10.000 pengungsi Vietnam. Kalau jumlah ini benar, artinya 5 persen pengungsi Vietnam menemui ajal di Pulau Galang ini.
Saya kemudian membaca inskripsi-inskripsi yang tertulis di atas nisan. Ada nama Dominico Nguyen Cong Cinh (lahir 1933, meninggal 1989), juga ada Daminh Nguyen Anh. Sudah dua "Nguyen". Apakah yang terakhir itu Nguyen yang diceritakan dalam novel itu? Saya tak tahu. Melihat tanggal lahirnya yang tahun 40-an, tentulah dia bukan Nguyen si perawan Vietnam dalam novel memikat itu.
Tentu saja masih ada 500-an inskripsi lainnya yang tidak mungkin saya catat satu persatu. Pada hampir semua batu nisan tertulis nama jelas si mati, berikut tanggal lahir dan hari kematiannya. Jika tidak ada tahun kelahirannya, paling tidak saat dia tiba di Pulau Galang sampai ia meninggal, tertulis sebagai "sejarah" yang banyak berbicara. Mengapa disebut "banyak berbicara"? Karena pada monumen beku itulah sebuah prahara kemanusiaan pernah terjadi dan kuburan adalah sebagai pangkal ingatan atau memori untuk sampai ke sejarah kelam kemanusiaan itu.
Tengok misalnya salah seorang mantan pengungsi bernama Hai Yen Hyunh dan anaknya Tien Kran yang sudah menjadi warga negara Australia, sengaja datang bereuni ke Pulau Galang pada 3 April 2005, setelah belasan tahun meninggalkan Pulau Galang. Ibu dan anak ini bukan sekadar reuni atau temu-kangen dengan sesama pengungsi lainnya, tetapi mengunjungi suami atau ayahnya di Pekuburan Ngha Trang ini.Suami Hai meninggal enam bulan sebelum ia dan anaknya pergi ke Australia tahun 1987, "Saya sangat sedih harus meningalkannya," kata Hai, kini berusia 55 tahun, yang pengalaman pribadinya tertulis dalam situs ThingAsian.
Saya masih berada di pekuburan Vietnam ini dan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:
"Ziarah kuburan ke makam ini oleh para keluarga dan sahabat yang pernah menjalani hidup bersama di pengungsian, sudah beberapa kali dilakukan."
"Para peziarah adalah mantan pengungsi Galang yang memperoleh sponsor dari negara-negara seperti Australia, Kanada,Amerika Serikat serta negara lainnya yang kini hidup senang dan mapan di negara-negara tersebut."
Memang Hai Yen Hyunh dan anaknya Tie Kran tidak sendirian. Ada sejumlah orang Vietnam lagi yang tidak harus menunggu sampai tahun 1995 sebagai batas akhir pemulangan pengungsi dari Pulau Galang. Ada beberapa pengungsi lainnya yang keluar sebelum tahun itu. Setelah Saigon jatuh tahun 1975, manusia perahu Vietnam dan Kamboja mencapai 147.000 orang yang berhasil selamat dan tinggal di sejumlah tempat penampungan pengungsi, termasuk Pulau Galang. Sebanyak 132.000 di antaranya diterima sebagai warga negara di negara ketiga. Ibu dan anak Hai-Tie termasuk 132.000 orang yang beruntung, meski di Australia ia menjalani hidup sebagai penjahit pakaian.
Saat pengungsi Vietnam yang tinggal di Pulau Galang harus segera dipulangkan, banyak di antara mereka memilih bunuh diri dengan cara gantung diri atau menenggelamkan diri ke laut dalam. Mereka lebih memilih mati daripada mati di tanah tumpah darahnya sendiri.
Kini para pengungsi Vietnam, termasuk yang pernah mukim di Pulau Galang, sebagian sudah menemukan kehidupannya di negeri ketiga, negara yang bersedia menerima mereka sebagai warga negara. Tidak ada satupun dari mereka yang bersedia kembali ke Vietnam karena mengira perang Vietnam masih berkobar. Sebagian lagi, tentu saja tertinggal di Pulau Galang, setidak-tidaknya 503 pengungsi Vietnam penghuni pekuburan Ngha Trang ini.

Apa yang Menarik di Batam (5)
Senin, 26 Mei 2008 | 09:58 WIB
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam enam seri tulisannya.
_____________________________________________


Barak dan Penjara, Monumen Derita Masa Silam

Sebuah plang bertuliskan "KHONG PAN SU CAM PAO" membawa saya ke dua buah barak berbentuk "L" bekas penampungan pengungsi Vietnam yang lokasinya berada di tanah rendah. Itu adalah dua dari puluhan barak yang pernah berdiri di sana, yang kini diabadikan sebagai kenangan, tragedic of the past. Meski sudah menjadi "monumen" yang semestinya diurus agar pesan masa silam bisa sampai kepada generasi berikutnya, nampak tidak terurus dan menuju kehancuran total.

Atap barak yang terbuat dari seng dengan dinding kayu itu keadaannya menyedihkan, sama seperti nasib penghuninya di masa silam. Beberapa bagian seng sudah terangkat dan mengelupas karena akumulasi panas-dingin dipermainkan irama alam, terseret pergantian siang-malam. Beberapa tiang penyangganya sudah terkulai dimakan rayap. Kalaupun masih ada tiang yang berdiri, barangkali dengan dorongan kelingking saja tiang itu sudah rubuh.

Ukuran satu barak cukup luas, yang saya perkirakan bisa menampung ratusan jiwa. Saya teringat rumah gadang di Sumatera Barat yang bisa menampung puluhan keluarga, tentu saja keluarga dekat atau sanak-saudara yang masih dalam satu garis keturunan. Di barak ini, yang dalamnya melompong begitu saja, terserak ratusan jiwa yang tidak berasal dari satu klan. Bisa jadi satu sama lain tidak saling mengenal.

Bisa dibayangkan perkembangan psikologi penghuni di dalamnya, saat anak-anak mendengar bahkan menyaksikan "kegiatan" orang dewasa yang sebenarnya belum waktunya mereka saksikan. Sebaliknya, lelaki dewasa tergiur dengan gadis remaja yang beranjak dewasa, yang tertidur merana di sana. Semoga gadis itu bukan Nguyen, gadis Vietnam yang masih menancap dalam ingatan saya.

Di Pulau Galang, pulau berhutan karet seluas kurang lebih 80 hektar ini, barak para pengungsi Vietnam (beberapa di antaranya juga pengungsi Kamboja) terkonsentrasi di dua sayap. Saya memusatkan pada Khong Pan Su Cam Pao ini. Barak yang sudah terkepung rumput tinggi ini, kini dibiarkan kosong. Dari foto-foto lama yang dipajang di kuil Quam Am Tu (akan saya ceritakan dalam tulisan seri terakhir), saya bisa merekonstruksi para pengungsi itu tengah melakukan kegiatan sehari-hari. Mulai menanak nasi, mandi, mencuci, sampai sesekali berinteraksi dengan penduduk lokal.

Dalam satu barak lainnya yang agak tinggi lokasinya, beberapa penduduk lokal nampak tengah bercengkerama. Sebuah tali jemuran terentang dipenuhi pakaian. Benar-benar tidak menunjukkan monumen sesungguhnya, yang sebaiknya dijadikan cermin sebuah perjalanan hidup manusia yang tidak boleh menimpa generasi berikutnya. Perang dimanapun tidak membawa kemenangan, tetapi membawa kesengsaraan.

Tahun 1996 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Bosnia, Kroasia, dan bahkan sempat melintas Serbia. Khususnya di Bosnia, dengan bantuan pengamanan pemerintah setempat dan PBB, saya melihat-lihat keganasan perang di bekas kamp-kamp penyiksaan tentara Serbia terhadap warga Bosnia. Sebuah pembersihan etnis yang gila-gilaan yang tidak menyisakan rasa kemanusiaan, juga rasa belas kasihan.

Waktu itu seorang warga Bosnia menjelaskan, hampir semua lelaki Bosnia yang tertangkap dibantai tanpa ampun oleh anak buah Slobodan Milosevic, sementara perempuan Bosnia diperkosa ramai-ramai, bergiliran, hanya sekadar untuk mengaburkan identitas Bosnia, agar nama Bosnia lenyap dari muka Bumi. Seluruh akta atau keterangan dibakar, dari KTP sampai rekening bank, sehingga orang Bosnia bukanlah siapa-siapa. Itulah perang. Di Bosnia, di Maluku, di Vietnam, perang sama saja; membawa petaka dan derita.

Manusia perahu dari Vietnam umumnya membuka mata dan perhatian dunia akan sebuah petaka perang yang berimbas pada derita orang. Di Pulau Galang, pengungsi ini mendapat perhatian penuh badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR). Melihat jejak sejarah yang ditinggalkan, Pulau Galang dengan pengungsi Vietnam di dalamnya merupakan sebuah "pemerintahan" ad interim (sementara), setidak-tidaknya ada administrasi yang mengatur warga pengungsi, entah itu diatur UNHCR yang bekerja sama dengan Otorita Batam. Mulai fasilitas kesehatan, sekolah Perancis yang dekelola LSM Perancis Ecoles Sans Frontieres (sekolah tanpa batas), sarana ibadah, kuburan, sampai penjara!

Penjara?
"Ya, penjara untuk pengungsi yang melanggar aturan," jelas John, sopir yang mengantar saya. Saya memintanya menepi. Saya ingin melihat penjara itu dari dekat. Saya kembali teringat novel itu. Dalam salah satu bagian, si gadis melankolis Nguyen pernah dianggap melanggar aturan dan dijebloskan ke dalam penjara. Inikah penjara tempat dimana Nguyen pernah mendekam?

Saya meminta izin kepada petugas jaga untuk mengabadikan penjara berjeruji besi itu. Saya cermati dengan saksama, hanya ada dua sel dengan jeruji panjang-panjang membentuk pintu lipat berjeruji besi. Sehingga yang saya bayangkan, siapapun yang berada di dalamnya akan terlihat jelas dari luar. Sengajakah untuk mempermalukan si pelanggar aturan? Saya tidak tahu. Yang jelas, dua sel penjara itu bagian dari bangunan dua tingkat dimana keduanya berada di bawah. Di atas penjara itu ada kamar-kamar dengan jendela kaca. Untuk apa sebenarnya bangunan itu?

Saya kemudian menemukan jawaban atas pertanyaan itu bukan dari John, sopir sekaligus pemandu saya, tetapi dari sebuah plakat yang terdapat di samping halaman depan bangunan itu. Begini bunyinya:

"Bangunan ini selain menjadi markas satuan Brimob Polri yang bertugas di ex-camp pengungsi Vietnam, juga berfungsi sebagai tempat tahanan para pengungsi,"
demikian alinea pertama yang saya baca. Saya harus mengakui bahwa informasi John akurat sampai di sini.

Alinea kedua, "Pengungsi yang ditahan di tempat ini adalah mereka yang mencoba untuk melarikan diri dari camp pengungsian dan yang bertindak kriminal seperti mencuri, memperkosa, dan membunuh sesama pengungsi."

Saya agak bergidik membaca kata-kata kriminal seperti mencuri, memperkosa, membunuh. Saya bahkan tidak menyadari kalau saya sebenarnya sedang traveling dan seharusnya merasakan hal yang happy-happy saja. Saya mengenyahkan argumen bahwa traveling itu hanya untuk senang-senang. Bagi saya, traveling juga bisa berarti kegiatan menggali ilmu pengetahuan di lapangan, memuaskan rasa ingin tahu, mengenal wilayah dan mengenal seni budaya masyarakat setempat.

Mencuri. Memperkosa. Membunuh.
Benarkah itu dilakukan pengungsi Vietnam? Benarkah orang-orang yang menderita itu saling menikam dan menghabisi sesamanya sehingga diperlukan dua sel penjara ini? Kalau demikian, apa kesalahan Nguyen saat itu? Semoga gadis itu bukan salah satu korban perkosaan atau bahkan korban pembunuhan!

Saya meneruskan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:

"Operasional bangunan ini diserahkan kepada pemerintah Indonesia dalam hal ini oleh Satuan Brimob Polri."

"Seiring dengan peninggalan pengungsi pada tahun 1996, satuan Brimob yang bertugas di sini ditarik kembali ke markasnya di Batam kemudian bangunan ini diserahkan kepada Otorita Batam. Saat itu kondisi bangunan sudah mengalami banyak kerusakan sehingga oleh Otorita Batam diperbaiki kembali."

Saya menarik napas panjang selepas membaca alinea terakhir plakat itu.
Tidak terasa, isi kepala saya dengan cepat merekonstruksi apa yang terjadi sekitar 30-an tahun lalu meski dengan ingatan yang sepotong-sepotong, saat prahara politik mendera kawasan Indochina di utara kita, khususnya Vietnam dan Kamboja. Orang-orang Vietnam berjudi nasib menjadi manusia perahu, terapung berbulan-bulan di tengah lautan tanpa kepastian. Sementara orang Kamboja yang tidak sempat mengungsi menjadi korban pembantaian rezim Khmer Merah di ladang pembantaian (The Killing Fileds), sebelum Komunis Vietnam menginvasi negeri ini. Di Kamboja ini, jutaan manusia terbantai sebelum mampu menjadi manusia perahu. Sekali lagi, itulah ganasnya perang!

Saya menyudahi "ziarah" kenangan saya di penjara Pulau Galang ini, sambil sesekali mengenang dan membayangkan Nguyen berdiri di kaki bukit di samping gereja, melambaikan tangan mengajak saya untuk mendengarkan segala ceritanya. Tetapi itu tidak akan pernah pernah terjadi, sebab Nguyen hanya ada dalam fantasi saya saja. Besok saya akan akhiri perjalanan ke Pulau Galang ini dengan menulis tentang religiositas para pengungsi Vietnam yang diwujudkan dalam sebuah kuil dan gereja di sana.

STOP URBANISASI

Anna Mariana, Pegiat Pemberdayaan Masyarakat, Tinggal di Cimahi
Selasa, 14 September 2010 | 21:40 WIB

BEBERAPA hari yang lalu baru saja kita menyaksikan atau bahkan merasakan bagaimana para pemudik melakukan safari ke desa mereka masing-masing. Beberapa hari kemudian, terjadi kembali arus balik dari desa ke kota (urbanisasi) bahkan dengan jumlah yang lebih besar disbanding yang mudik.

Masing-masing keluarga terkadang mengajak sanak saudara, kerabat ataupun sahabatnya pergi ke kota dengan harapan menemui kehidupan yang lebih baik. Akibatnya kini desa "kosong" ditinggalkan penghuninya. Salah apa dengan desa, padahal mayoritas penduduk Indonesia adalah berasal dari desa.

Saya tidak bisa membayangkan, kalau kondisi ini terus berlangsung setiap tahun tanpa ada perhatian khusus dan komperhensif, bukan tidak mungkin desa sebagai lumbung SDM dan SDA akan semakin tidak berdaya. Jika ditantang oleh pernyataan tersebut, tentu kita akan menjawab tidak rela desa telantar karena ditinggal oleh para penghuninya.

Oleh karena itu, melalui momentum idul Fitri 1430 H (sebagai cikal bakal adanya mudik dan balik) yang baru saja kita lalui mengingatkan kita untuk kembali bagaimana memaksimalkan pembangunan desa, agar daerah ini tidak terus menerus ditinggalkan generasi mudanya. Generasi yang menjadi pemegang estapet pembangunan bangsa melalui kiprahnya di desa.

Berbicara tentang pembangunan, maka pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengeksekusinya, namun tentu di dalamnya terdapat juga tanggung jawab dari semua komponen bangsa atau masyarakat. Masa lalu sentralisasi pembangunan era Orde Baru, harus mampu dijadikan motivasi untuk melakukan pembangunan secara menyeluruh, baik lintas sektoral, lintas wilayah maupun lintas bidang.

Dalam data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) tahun 2009 menyebutkan, terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju,yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori sangat maju. Sementara desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori sangat tertinggal.

Semantara itu, fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa, desa belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425 desa, desa belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa belum ada pasar permamen sebanyak 29.421 desa, besa belum ada listrik sebanyak 6.240 desa. Sementara rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen.

Besarnya disparitas antara desa maju dan desa tertinggal sebagaimana yang tersebut di atas, banyak disebabkan karena masing-masing sektor (departemen teknis) berjalan dengan sendiri-sendiri, pembangunan yang berjalan belum sepenuhnya partisipatoris, pembangunan desa yang belum terintegrasi serta kebijakan-kebijakan pembangunan desa belum optimal menekankan pro poor, pro job dan pro growth.

Sementara itu masih adanya kebijakan pembangunan yang belum mampu mengambarkan karakteristik dari desa tersebut. Artinya, keberagaman desa diasumsikan memiliki karakteristik yang sama. Kondisi demikian, menjadi amat wajar jika ketimpangan antara desa maju dan desa tertinggal menjadi semakin besar.

Fenomena tersebut, mestinya menjadi dorongan bagi pemerintah untuk menekankan percepatan pembangunan desa dengan pendekatan yang holistik (menyeluruh). Konsep yang harus dikembangkan bisa menerapkan desa model, yakni konsep pembangunan desa dengan penetapan desa sebagai lokus dan fokus dari berbagai bentuk intervensi dari pemerintah.

Oleh karena itu, sebagai penawarnya tidak ada lain kecuali harus ada sinergi dari semua stakeholder (pemerintah pusat, porovinsi, kabupaten/kota melalui departemen teknis atau dinas terkait, swasta dan masyarakat sendiri) diharapkan mampu mendorong percepatan pembangunan bangsa, dimana desa menjadi komponen penting dari bangsa tersebut.

Selain itu, secara praksis setop urbanisasi atau paling tidak diminimalisir dengan kompensasi desa diberdayakan dengan baik. Masyarakat harus menjadi subjek pemberdayaan, tidak hanya menjadi objek "eksploitasi" desa.

Dari hal tersebut diharapkan dapat mengurangi indeks kemisikanan desa, meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditandai dengan terciptanya lapangan kerja dan kesempatan kerja, berkembangnya perekonomian lokal masyarakat, kuatnya jaringan informasi dan ekonomi serta peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat. Dan khusus untuk desa yang terkena bencana atau konflik, maka harus ada percepatan rehabilitasi desa pasca konflik dan bencana alam dapat tercapai dalam waktu dekat.

Ingat, membangun bangsa tidak bisa meninggalkan dari pembangunan desa. (*)


Fenomena Urbanisasi Pasca Lebaran; Transfer Orang Miskin Ke Kota
oleh : Dedy Yanwar Elvani

Pekerjaan besar tengah menanti pemerintah kota seusai perayaan lebaran. Pemerintah kota begitu dipusingkan dengan kehadiran “orang-orang asing” yang datang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib hidup di kota. Urbanisasi memang bukanlah termasuk tindakan yang melanggar aturan. Merujuk bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang memang membebaskan persebaran warganya, karena itu adalah hak setiap warga untuk mencari penghidupan yang layak dimanapun tempatnya (pasal 27 ayat 2). Akan tetapi yang jadi masalah adalah jika urbanisasi ini dihadapkan pada sebuah realitas, yakni menumpuknya konsentrasi migrasi pada beberapa kota tertentu. Akibatnya nampak terlihat sekarang ini (paling parah di DKI Jakarta), kondisi kota sudah tidak mampu lagi menampung jumlah penduduknya (oversize people). Apalagi jika frekuensi urbanisasi kian tahun semakin bertambah. Tengoklah Provinsi DKI Jakarta yang kedatangan pendatang baru rata-rata 200.000-250.00 ribu jiwa pertahunnya, padahal kebutuhan 8,7 juta warganya (13,2 juta versi PBB) belum sepenuhnya bisa dipenuhi Pemprov DKI Jakarta, seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Urbanisasi pada tingkatan tertentu dari sisi ekonomi justru akan menguntungkan kota tujuan urbanisasi. Dalam teori umum semakin meningkat persentase penduduk suatu kota semakin meningkatkan produk domestik bruto dan capaian pembangunan manusia dari penduduk di kota itu. Jika begitu mengapa urbanisasi saat ini justru menjadi momok bagi pemerintah kota? Jawabannya adalah karena urbanisasi yang terjadi sekarang ini sudah pada tingkatan tidak terkontrol, akibatnya urbanisasi tidak lagi menjadi faktor kemajuan kota. Bukti empiris menunjukkan hubungan antara urbanisasi dan kemajuan itu bisa terwujud jika urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol (UNDP, Human Development Report, 2005). Alih-alih kemajuan yang didapatkan dari urbanisasi, justru urbanisasi malah jadi biang kerok berbagai permasalahan pelik kota. Kemiskinan, pengangguran, pemukiman kumuh, banyaknya gepeng (gelandangan dan pengemis), tingkat kriminalitas tinggi adalah sebagian contoh akibat langsung maupun tidak langsung dari urbanisasi. Jadi tidaklah janggal jika pemerintah kota menjadi pihak yang paling getol  menghadapi “ancaman urbanisasi”.

Dari pemantauan pemerintah ada dua arus besar menjadi pendorong urbanisasi, yang pertama adalah tahun kelulusan siswa/mahasiswa dari studinya. Arus pertama ini bagi pemerintah kota bukan ancaman serius, selain karena segi kuantitas tidak terlalu banyak, dilihat dari segi kualitas mayoritas adalah tenaga-tenaga terdidik yang potensial dan mempunyai prospek kerja (formal) cukup tinggi. Bahkan banyak yang memandang mereka akan membawa urbanisasi kearah positif untuk kemajuan kota. Arus yang kedua adalah di saat pasca lebaran. Arus inilah yang paling diantisipasi ekstra oleh pemerintah kota dan menjadi ancaman serius bagi mereka. Kebanyakan perantau baru dari arus balik lebaran ini datang dari wilayah miskin di Indonesia. Kebanyakan lagi dari mereka tidak mempunyai modal yang cukup mengarungi sengitnya persaingan kerja di kota. Dengan latar pendidikan minim,  skill yang kurang mumpuni, dan sumber daya finansial (modal dana) juga kurang memadai semakin mempersulit para migran urban meraih kesuksesan di kota. Kalaupun ada yang sukses mungkin bisa dihitung dalam hitungan jari dibanding ratusan migran lainya. Itupun karena mereka mempunyai soft skill yang menunjang kerjanya seperti keuleten, pekerja yang keras, humanis dalam membangun jaringan, dan yang paling penting adalah kejujuran untuk membangun trustment.

Magnet Perantau Di Masa Mudik
Sudah jadi tradisi masyarakat Indonesia di setiap perayaan lebaran menyempatkan diri untuk mudik kembali ke daerah asalnya. Sekedar berkangen mesra dengan sanak saudara dan kerabatnya di desa, orang – orang perantauan ini rela berkorban banyak asalkan bisa pulang kekampung halaman. Tidak ada yang salah dengan ini, yang disesalkan hanya action mereka ketika di kampungnya menampilkan diri secara berlebihan. Walaupun berkesan seperti agak “dipaksakan” mereka sering mencitrakan diri sebagai orang yang sudah mapan dan telah sukses selama merantau di kota. Ditambah lagi dengan penampilan gaya hidup ala kota, tak ayal banyak kerabat menjadi terpikat untuk ikut merasakan nikmat hidup di kota. Di benak mereka yang terbayang hanyalah sebuah kesuksesan yang menanti di kota.

Pasca lebaran adalah moment yang paling sering dimanfaatkan para calon perantau untuk ikut mencicipi hidup di kota. Ketertarikan mereka untuk merantau ke kota tidak lepas dari pengaruh perantau lama yang kebetulan sedang mudik ke daerah asalnya. Memang dalam pengaruhnya tidak selamanya dilakukan secara langsung dengan cara mengajak. Tanpa ada ajakan secara persuasifpun, mereka seringkali menampilkan informasi “palsu” tentang kondisi dirinya dan kota rantauannya. Dengan informasi “palsu” itupun sudah cukup bagi calon perantau untuk membulatkan tekadnya melakukan imigrasi. Belajar dari sang pendahulunya dengan motivasi berlapis dan cita-cita selangit para calon perantau siap untuk mengadu nasib di kota. Mengandalkan kenekatan tanpa ada modal (baca: bondo) yang cukup, panggilan “Bonek” (Bondo Nekat) kini menjadi panggilan akrab bagi calon perantau.

Mencermati Urbanisasi Di Indonesia
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa urbanisasi begitu tinggi hingga tak terkontrol. Salah satunya adalah dari peninggalan kebijakan jaman orde baru yang masih menyisakan masalah hingga dewasa ini. Paradigma sentralisasi pemerintahan dan pembangunan ekonomi terpusat adalah hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi dengan konsentrasi migrasi yang tidak sehat. Daerah kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah. Pemerintah pusat juga tidak mau memecah kosentrasi pembangunan ke daerah untuk pemerataan pembangunan. Yang terjadi sekarang ini adalah jomplangnya pembangunan satu daerah dengan daerah yang lain.

Selain itu jika kita flashback awal pemerintah orde baru saat itu terlalu berfokus pada pembangunan industri subtitusi import (manufactur) dengan mengabaikan sektor yang menjadi penghidupan mayoritas penduduk yakni sektor pertanian. Kalaupun sektor pertanian sempat dianggap maju dengan swasemba berasnya, tapi kemajuannya hanya berlangsung singkat, karena orientasi pembangunan pertanian saat itu berdasarkan paradigma industri subtitusi import (mencukupi pangan nasional), bukan pada pengembangan sumber daya pertanian dan keunggulan produk pertanian. Sektor pertanian sangat identik dengan kehidupan ekonomi desa. Jika sektor pertanian tidak berkembang maka ekonomi desa juga terkena dampak buruknya. Sektor pertanian yang tidak menjanjikan lagi dan lapangan perkejaan yang minim di desa, ditambah lagi rata-rata pendidikan yang rendah menjadi faktor pendorong masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi.

Orde baru memang telah jatuh selama satu dekade terkahir, tapi sisa kebijakannya masih terasa sampai saat ini. Mindset masyarakat desa tentang urbanisasi sebagai peningkatan taraf hidup masih belum banyak berubah. Orde reformasi dengan otonomi daerahnya juga tidak mampu menjawab banyak untuk memajukan ekonomi desa, terbukti dengan masih tingginya urbanisasi. Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).

Mencari Solusi Terbaik
Dalam mencari solusi permasalahan urbanisasi dapat dibagi menjadi dua jalan penyelesaian, yakni secara struktural sebagai prioritas utama dan secara kultural sebagai sarana pendukung/pelengkap. Cara struktural seperti yang diajukan oleh Weller and Bouvier (1981), menyebutkan ada tiga alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi urbanisasi. Solusi pertama, melarang penduduk pindah ke kota. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah kota di indonesia dalam beberapa tahun terakhir, biasa disebut dengan operasi yustisi. Kebijakan ini dipandang terutama dari kalangan LSM terlalu otoriter dan berpotensi melanggar HAM. Pandangan ini ditentang oleh Direktur Eksekutif KP3I (Komite Pemantau Pemberdayaan Parlemen Indonesia) Tom Pasaribu dan menganggap operasi yustisi tidak melanggar HAM. Alasannya sangat logis karena memang sasaranya adalah orang-orang yang tidak jelas identitasnya dan berkeliaran di kota, jadi tidak ada pelanggaran HAM didalamnya. Kebijakan jangka pendek ini ternyata cukup efektif untuk sedikit menekan arus urbanisasi.

Solusi kedua, menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota. Keseimbangan pembangunan itu bisa dicapai jika ada komitmen untuk melakukan pembangunan hampir semua sektor di pedesaan, seperti industri dan jasa. Selain itu, pemerintah perlu menata reforma agraria, memberdayakan masyarakat pedesaan dan membangun infrastruktur pedesaan. Setelah itu jangan sampai ada kesenjangan penghasilan yang tinggi antara desa dan kota. Bayangkan saja, dengan menjadi Pak Ogah (polisi cepek), pemulung, tukang semir sepatu, tukang parkir atau pengumpul barang bekas di Ibukota Jakarta atau di Surabaya, kaum migran memperoleh pendapatan sebesar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan penghasilannya di desa. Dengan adanya kesenjangan pendapatan itu, maka pilihan untuk berurbanisasi adalah hal yang rasional secara ekonomis bagi mereka.

Solusi ketiga, mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik. Solusi kedua dan ketiga diatas termasuk penyelesaian dalam jangka panjang.

Cara penyelesaian kedua adalah dengan jalan kultural. Cara penyelesaian ini penting untuk didorong untuk mendukung sistem yang ada (supporting system). Intinya adalah bagaimana membangun budaya yang kondusif untuk mengatasi problematika masyrakat miskin desa. Beberapa hal salah satunya dengan menggali lagi local wisdom yang dimiliki dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Lokal wisdom dikebanyakan desa adalah rasa persaudaraan dan kebersamaan antar masyarakat. Dari sini akan melahirkkan budaya gotong royong termasuk juga dalam gotong royong dalam perekonomian. Ilustrasi simpel ketika ada warga yang mengalami kesulitan ekonomi atau kesulitan apapun, dengan rasa persaudaraan warga lain tidak akan sungkan untuk menolong warga yang mengalami kesulitan. Maka jika ini menjadi budaya yang masif, tentu permasalahan kemiskinan desa dapat ditekan. Yang kedua adalah membangun budaya yang respect terhadap kebijakan positif pemerintah. Dengan cara mensosialisasikan dan ikut menyukseskan kebijakan pemerintah tersebut. Apalagi kini ruang aspirasi desa sudah dibuka seluas-luasnya dalam era otonomi daerah. Dalam penyusunan anggaran contohnya pemerintah berusaha turun kedesa dan kecamatan untuk mendengarkan aspirasi secara langsung. Harusnya ini dapat dimanfaatkan masyarakat desa untuk menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di desanya.

Menjalankan berbagai solusi diatas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh banyak dukungan untuk menjalankannya, terutama yang paling ditunggu adalah kebijaksanaan pemerintah. Apakah cukup dengan kebijakan menutup lubang atau lebih hebat lagi setelah menutup lubang lalu dilapisi dengan beton agar tidak berlubang lagi? Operasi yustisi dengan orientasi jangka pendek haruslah di dibarengi dengan kebijakan jangka panjang, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan membangun kesejahteraan di desa-desa yang masih dilanda kemiskinan. Didukung dengan budaya masyarakat bergotong royong membangun perekonomian bersama, mungkin urbanisasi tidak akan menjadi ancaman bagi negara ini.

 September 29, 2009
KAMMI Komisariat Universitas Gadjah Mada
Kategori: Artikel Kader KAMMI UGM

 

Sumber : http://kammikomsatugm.wordpress.com/2009/09/29/fenomena-urbanisasi-pasca-lebaran-transfer-orang-miskin-ke-kota/

 

 

URBANISASI, MASALAH BAGI PENDUDUK KOTA


Pengertian Urbanisasi :
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.
Faktor Penarik dan Pendorong Terjadinya Urbanisasi :
A. Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi
1.     Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah
2.     Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
3.     Banyak lapangan pekerjaan di kota
4.     Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng
5.     Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas

B. Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi
1.     Lahan pertanian yang semakin sempit
2.     Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa
3.     Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
4.     Diusir dari desa asal
5.     Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Tujuan Urbanisasi :

Tujuan utamanya adalah untuk menetap di kota . mereka berharap akan memperbaiki hidup mereka jika mereka menetap di kota. Impian untuk menjadi orang sukses juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan urbanisasi, karena perkotaanlah yang memberikan peluang cukup besar untuk mewujudkan impiannya itu.
Kota –kota besar merupakan kota tujuan arus urbanisasi, hal ini bisa kita pahami karena kota merupakan pusat pemerintahan, pusat industri, pusat perdagangan baik barang maupun jasa.

Sasaran Urbanisasi :

Telah disebutkan di atas bahwa yang menjadi sasaran para urban berpindah tempat adalah daerah perkotaan. Namun bukan hanya perkotaan saja, melainkan daerah sengan sejuta peluang atau kesempatan dalam bidang usaha yang menjadi tujuan para urban. Namun di Indonesia ini sasaran atau tempat tujuan para urban ruang lingkupnya amatlah sempit.

Bisa dipastikan para penduduk yang ada di desa pasti ingin mendiami daerah ibukota dan sekitarnya yang kaya akan peluang usaha. Daerah ibukota merupakan pusat perekonomian di Indonesia, karena hanya di ibukotalah pembangunan dan pemerintahan dipusatkan, selebihnya di kota-kota besar lain mungkin hanya pusat perindustrian seperti Surabaya, pusat pariwisata seperti Bali, dan pusat ekspor impor seperti Batam.

Kesimpulan :
Kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan uraian di atas, antara lain :
  1. Urbanisasi memiliki dampak positif maupun dampak negatif terhadap perkembangan suatu daerah.
  2. Sebagian besar alasan orang berurbanisasi adalah  karena faktor ekonomi dan ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik jika tinggal di kota.
  3. Para urbanis yang mau bertahan hidup di kota harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan perkotaan. Karena hidup di desa dan di kota sangat jauh berbeda.
  4. Penanganan / pemecahan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi harus selalu diusahakan oleh pemerintah kota setempat, dan tentunya harus ada dukungan dari pemerintah daerah di sekitar kota tersebut.
  5. Pemerintah pun harus menyediakan lapangan pekerjaan agar tak semua orang berurbanisasi ke kota dan tidak bermimpi untuk mendapatkan pekerjaan di kota yang penuh dengan persaingan. 

Referensi :

http://rylzone.blogspot.com/2010/10/urbanisasi-masalah-bagi-penduduk-kota.html

 

 

MASYARAKAT DESA DAN MASYARAKAT KOTA


    A.     Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Dari segi perlaksaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat - atau tidak dibuat - oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial.

B.     Hubungan Desa dan Kota
Dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan seperti beras, sayur mayor, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota, misalnya saja buruh bangunan dalam proyek-proyek perumahan, proyek pembangunan dan lain-lain. Sebaliknya, kota juga menghasilkan barang-barang yang juga diperlukan oleh orang desa seperti bahan-bahan pakaian, alat dan obat-obatan pembasmi hama pertanian, minyak tanah, obat-obatan untuk memeliahara kesehatan dan alat transportasi.

C.     Definisi Masyarakat
Dalam Bahasa Inggris disebut Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk akhiran hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan.

D.    Syarat-syarat supaya dapat disebut sebagai masyarakat adalah:
1.      Harus ada sekelompok manusia
2.      Telah tinggal cukup lama disuatu daerah
3.      Adanya aturan-aturan yang mengatur untuk menuju kepentingan dan tujuan bersama

E.     Sedangkan menurut cara terbentunya suatu masyarakat. Terbagi menjadi dua yaitu :
1.      Masyarakat paksaan. Contohnya masyarakat tahanan
2.      Masyarakat merdeka yang terbagi juga kedalam dua :
        Masyarakat Nature, masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, seperti gerombolan, suku, yang bertalian dengan hubungan darah atau keturunan
        Masyarakat kultur, masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, misalnya koperasi, kongsi perekonomian, gereja dan sebagainya



     F.      Masyarakat Kota
Kehidupan masyarakat kota, cenderung mengarah individual dan kurang mengenal antara warga yang satu dengan lainnya meskipun tempat tinggalnya berdekatan. Rasa persatuan tolong menolong dan gotong royong mulai pudar dan kepedulian social cenderung berkurang.
Definisi dari masyarakat perkotaan lebih menekankan kepada sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupan masyarakat perkotaan yang jika dibandingkan dengan masyarakat pedesaan jauh berbeda. Perbedaan itu meliputi jumlah dan kepadatan penduduk, lingkungan hidup, mata pencaharian, corak kehidupan sosial, stratifikasi sosial, mobilitas sosial, pola interaksi sosial, solidaritas sosial, kedudukan dalam hierarki administrasi nasional.
Ada beberapa ciri masyarakat perkotaan :
a)      Kehidupan keagamaan berkurang daripada masyarakat pedesaan.
b)      Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
c)      Pembagiaan kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
d)      Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.
e)      Jalan pikirannya rasional dan terjadi perubahan-perubahan sosial secara nyata.


    G.    Masyarakat Desa
Pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Ada beberapa ciri masyarakat pedesaan :
a)      Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
b)      Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan.
c)      Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian.
d)      Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal  mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya

H.    Perbedaan antara desa dan kota
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:

Sumber :
www.google.com - masyarakat kota dan desa

 

 

KOTA BATAM

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kota Batam adalah kota terbesar di provinsi Kepulauan Riau dan merupakan kota terbesar ke tiga populasinya di Sumatra setelah Medan dan Palembang, dengan jumlah penduduk mencapai 949.775 jiwa. Metropolitan Batam terdiri dari tiga pulau, yaitu Batam, Rempang dan Galang yang dihubungkan oleh Jembatan Barelang. Batam merupakan sebuah kota dengan letak sangat strategis. Selain berada di jalur pelayaran internasional, kota ini memiliki jarak yang cukup dekat dengan Singapura dan Malaysia. Batam merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Ketika dibangun pada tahun 1970-an awal kota ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk dan dalam tempo 40 tahun penduduk Batam bertumbuh hingga 170 kali lipat.

Sejarah

Pulau Batam dihuni pertama kali oleh orang melayu dengan sebutan orang selat sejak tahun 231 Masehi. Pulau yang pernah menjadi medan perjuangan Laksamana Hang Nadim dalam melawan penjajah ini digunakan oleh pemerintah pada dekade 1960-an sebagai basis logistik minyak bumi di Pulau Sambu.

Pada dekade 1970-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia, maka sesuai Keputusan Presiden nomor 41 tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam.

Seiring pesatnya perkembangan Pulau Batam, pada dekade 1980-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983, wilayah kecamatan Batam yang merupakan bagian dari kabupaten Kepulauan Riau, ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendudukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam.

Di era reformasi pada akhir dekade tahun 1990-an, dengan Undang-Undang nomor 53 tahun 1999, maka Kotamadya administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi, yaitu Pemerintah Kota Batam untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan mengikutsertakan Badan Otorita Batam.

Geografis

Kota yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau ini, memiliki luas wilayah daratan seluas 715 km² atau sekitar 115% dari wilayah Singapura, sedangkan luas wilayah keseluruhan mencapai 1.570,35 km². Kota Batam beriklim tropis dengan suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celsius. Kota ini memiliki dataran yang berbukit dan berlembah. Tanahnya berupa tanah merah yang kurang subur.

Batas-batas Kota Batam:

 

Penduduk

Suku Bangsa

Masyarakat Kota Batam merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari beragam suku dan golongan. Suku yang dominan antara lain Melayu, Minangkabau, Batak, Jawa, dan Tionghoa. Dengan berpayungkan Budaya Melayu dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Batam menjadi kondusif dalam menggerakan kegiatan ekonomi, sosial politik serta budaya dalam masyarakat. Hingga Agustus 2010, Batam telah berpenduduk 949.775 jiwa dan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Dalam kurun waktu tahun 2001 hingga tahun 2010 memiliki angka pertumbuhan penduduk rata-rata hampir 10 persen pertahun.

Agama

Islam adalah agama mayoritas di Kota Batam. Mesjid Raya Batam yang terletak di tengah kota, berdekatan dengan alun-alun, kantor walikota dan kantor DPRD menjadi simbol masyarakat Batam yang agamis. Agama Kristen dan Katholik juga banyak dianut oleh masyarakat Batam, terutama yang berasal dari suku Batak dan Flores. Agama Buddha kebanyakan dianut oleh warga Tionghoa. Batam memiliki Vihara yang konon terbesar di Asia Tenggara, yaitu Vihara Duta Maitreya.

Bahasa

Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Bahasa Minang, Bahasa Batak, dan Bahasa Jawa. Hal demikian terjadi karena Batam adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu.

Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Kota Batam yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional menjadikan wilayah ini andalan bagi pemacu pertumbuhan ekonomi secara nasional maupun bagi Provinsi Kepulauan Riau. Beragam sektor penggerak ekonomi meliputi sektor komunikasi, sektor listrik, air dan gas, sektor perbankan, sektor industri dan alih kapal, sektor perdagangan dan jasa merupakan nadi perekonomian kota batam yang tidak hanya merupakan konsumsi masyarakat Batam dan Indonesia tetapi juga merupakan komoditi ekspor untuk negara lain. Keberadaan kegiatan perekonomian di Kota ini juga dalam rangka meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah Kota Batam sebagai pelaksana pembangunan Kota Batam bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat daerah Kota Batam serta keikutsertaan Badan Otorita Batam dalam meneruskan pembangunan, memiliki komitmen dalam memajukan pertumbuhan investasi dan ekonomi Kota Batam, hal ini dibuktikan dengan adanya nota kesepahaman ketiga instansi tersebut, yang kemudian diharapkan terciptanya pembangunan Kota Batam yang berkesinambungan. Batam, bersama dengan Bintan dan Karimun kini telah berstatus sebagai Kawasan Ekonomi Khusus(KEK). Dengan ini diharapkan dapat meningkatkan investasi di Batam yang pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Komunikasi, Media & Hiburan

Perkembangan Telekomunikasi di Batam terbilang cukup pesat. Berikut ini adalah beberapa media yang berada di Batam.
  1. Stasiun Televisi:
    • Batam TV - 53 UHFwww.batamtv.com
    • Semenanjung Televisi - 39 UHF
    • Urban TV - 61 UHF
    • Barelang TV - TV Berlangganan
    • Hang Tuah TV - TV Komunitas (Sekolah Hang Tuah)
  2. Surat Kabar:
    • Batam Pos
    • Tribun Batam
    • Sijori Mandiri
    • Posmetro Batam
    • Tanjungpinang Pos
  3. Stasiun Radio:
    • Radio Republik Indonesia Batam 105.1 FM
    • Radio Aljabar 91.7 FM
    • Radio Kei 102.3 FM
    • Radio Be 107 FM
    • Radio Batam FM 100.7
    • Radio Zoo 101.6 FM
    • Radio DISCOVERY Minang 87.6 FM
    • Radio Sheila 104.3 FM
    • Radio BIGS 104.7 FM
    • Radio Alfa Omega 107.7 FM
    • Radio Sing 105.5 FM
    • Radio Era Baru 106.5 FM
    • Radio Salam 102.7 FM
    • Radio Hang 106 FM
    • Radio Kita 107.9 FM
    • Radio Gress 88.0 FM
    • Radio M3 103.2 FM
    • Radio RRI Studio Prod. Batam 90.9 FM
    • Radio G-Fan 105.1 FM
  4. Artist & Entertainer Indonesia asal Batam:

Pemerintahan

Walikota

Dalam mewujudkan demokratisasi dan kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan di kota Batam, pada bulan Januari 2006 yang lalu, diselenggarakan pemilihan walikota dan wakil walikota Batam. Melalui proses yang tertib dan aman, maka terpilih dan ditetapkannya Drs. H. Ahmad Dahlan dan Ir. Ria Saptarika sebagai Walikota dan Wakil Walikota Batam periode 2006-2011.

Pembagian Wilayah

Kota Batam terdiri dari 12 (dua belas) kecamatan, yaitu:

 

Pendidikan

Kota Batam memiliki banyak sekolah negeri dan swasta mulai dari tingkat SD hingga SMA. Perguruan Tinggi Negeri di Batam adalah Universitas Maritim Raja Ali Haji(UMRAH) atau lebih di kenal dengan nama Politeknik Batam. Selain itu terdapat banyak perguruan tinggi swasta seperti Universitas Internasional Batam(UIB), Universitas Putera Batam (UPB), Universitas Batam(Uniba), STMIK Putera Batam, STIE Ibnu Sina, STT Bentara Persada, Universitas Riau Kepulauan (Unrika) dan lain-lain.

 

Transportasi

Akses menuju Kota Batam dapat ditempuh melalui jalur udara dan laut. Melalui jalur udara, Batam dapat dicapai melalui Bandara Internasional Hang Nadim yang melayani rute penerbangan langsung dari banyak kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Padang dan Palembang.
Batam juga memiliki lima pelabuhan feri internasional yang menghubungkannya dengan Singapura dan Malaysia: Batam Centre, Batu Ampar (Harbour Bay), Nongsa, Waterfront City dan Sekupang.

 

Pariwisata

Pada tahun 2010 Kota Batam menggelar tahun kunjungan wisata bertajuk Visit Batam 2010 - Experience it. Didukung oleh fasilitas hotel dan resort berstandar internasional serta aneka kegiatan wisata yang disusun dalam Kalender Kegiatan Kepariwisataan Kota Batan, diharapkan dapat menjamin kenyamanan dan kepuasan wisatawan domestik dan mancanegara saat berkunjung ke Kota Batam.

Tempat-tempat wisata unggulan di Batam adalah:
  • Jembatan Barelang (Ikon Kota Batam)
  • Bekas kamp pengungsi Vietnam di pulau Galang
  • Pantai Nongsa
  • Pantai Melur Pulau Galang
  • Pantai Sekilak
  • KTM Resort (terdapat patung Dewi Kwan-Im raksasa)
  • Berbagai resort berstandar internasional yang menyediakan fasilitas hotel dan lapangan golf

Tempat-tempat wisata Belanja antara lain:
  • Komplek Nagoya
  • Komplek Jodoh
  • Mega Mall
  • Nagoya Hill Mall
  • Batam City Square(BCS) Mall
  • Lucky Plaza (Pusat penjualan HP)
  • Mymart (Pusat penjualan Komputer)
  • Kepri Mall
  • Top 100 Tembesi

Lihat pula

Pranala luar

 

Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batam

 


POTRET TENAGA KERJA KOTA BATAM
Written by Ade P. Nasution
Saturday, 02 October 2010 22:39

Ditengah ramainya argumen-argumen kuantitatif dalam konteks Free Trade Zone, yang kebanyakan berkisar masalah pertumbuhan ekonomi, tingkat investasi, penyerapan tenaga kerja, PDRB dan indikator-indikator statistik lainnya, ada baiknya kita sedikit memberi perhatian terhadap masalah kualitatif yang selama ini belum pernah tersentuh yaitu mengenai permasalahan tenaga kerja di Kota Batam.Meskipun Kota Batam diposisikan sebagai kawasan Industri dan Investasi dengan keunggulan bersaing dalam hal letak strategis dan tenaga kerja murah, namun ada baiknya permasalahan kualitas tenaga kerja mulai dipikirkan dari sekarang.

Jika ini dibiarkan, ini akan menjadi suatu paradoks dalam era Free Trade Zone. Disatu sisi tingkat pertumbuhan ekonomi, industri dan investasi meningkat pesat namun disisi lain tenaga kerja lokal terpuruk dan tidak mampu bersaing secara kualitas dengan pekerja asing. Namun secara psikologis, kebijakan untuk meningkatkan kualitas pekerja akan menghadapi suatu tembok besar. Dan tembok itu bernama ancaman hengkangnya investor asing. Karena baik secara langsung ataupun tidak langsung, upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal pasti terkait dengan cost yag dikeluarkan oleh perusahaan investor

Kondisi aktual yang terjadi di Batam saat ini adalah, tenaga kerja lokal yang ada dirasakan belum mampu mendukung pengembangan kota Batam sebagai daerah industri. Ini diindikasikan dari masih begitu banyaknya permasalahan-permasalahan yang menyangkut SDM atau masalah ketenagakerjaan.

Permasalahan tenaga kerja di Batam semakin lama semakin kompleks, yang bukan sebatas permasalahan keterbatasan tenaga kerja secara kualitas, tapi juga secara kuantitas. Secara umum, kualitas tenaga kerja Batam dianggap masih belum memenuhi standar, ini terlihat dari masih banyaknya tenaga kerja asing (ekspatriat) yang menempati pos-pos kunci di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di berbagai kawasan industri yang ada.

A. Tenaga Kerja Berdasarkan Jabatan, Pendidikan Dan Jenis Kelamin
Jumlah tenaga kerja baik lokal maupun ekspatriat yang bekerja di Batam menunjukkan perbandingan sebesar 1: 59 yang artinya setiap 1 orang tenaga ekspatriat dalam satu perusahaan terdapat 59 orang tenaga kerja lokal. Sedang untuk pendidikan tenaga kerja yang telah bekerja pada berbagai perusahaan tersebut sebagian besar yaitu 76,1% berpendidikan SLTA. Hal ini akan sangat mendukung terhadap perkembangan Batam sebagai daerah Industri karena diharapkan dengan pendidikan yang baik akan lebih mudah menerima dan mengembangkan transfer teknologi yang baru. Hanya untuk jabatan-jabatan utama masih terlihat di dominasi oleh tenaga kerja ekspatriat, dibuktikan bahwa 65 % posisi Top Manager diisi oleh ekspatriat dan 35 % posisi Mid Manager diisi oleh tenaga kerja lokal sebaliknya untuk tenaga pelaksana lebih didominasi oleh tenaga kerja lokal. Untuk kategori gender secara umum tenaga kerja di Batam dipenuhi oleh tenaga kerja wanita 61,8 % dan laki-laki 38,2 % (untuk perusahaan Elektronik). Namun demikian untuk kelompok-kelompok perusahaan tertentu hal ini cukup mencolok perbedaannya, hal ini sangat bisa dimaklumi karena ada kelompok perusahaan/ pekerjaan tertentu yang lebih efektif dan efisien bila dikerjakan oleh tenaga kerja laki-laki dan ada kelompok perusahaan / pekerjaan tertentu yang lebih efektif dan efisien bila dikerjakan oleh tenaga kerja perempuan.

B. Kemampuan Managerial Tenaga Kerja Lokal Dan Ekspatriat
Dari penelitian terhadap sampel yang ada dapat dikatakan bahwa pada perusahaan-perusahaan elektronik, tenaga kerja lokal mempunyai kemampuan managerial sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 4,1 %, kemampuan perencanaan 3,9 %, kemampuan analisis 3,8 %, dan kemampuan operasioanal 13,7 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 0,2 %, kemampuan perencanaan 0,1 %, kemampuan analisis 0,1 %, dan kemampuan operasional 74,1 %.

Sementara itu tenaga kerja ekspatriat mempunyai kemampuan managerial sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 20,6 %, kemampuan perencanaan 27,9 %, kemampuan analisis 16,2%, dan kemampuan operasioanal 23,5 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 2,9 %, kemampuan perencanaan 2,9 %, kemampuan analisis 2,9 %, dan kemampuan operasioanal 2,9 %.

Pada perusahaan-perusahaan Perkapalan yang diperoleh untuk kemampuan managerial adalah sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 4,6 %, kemampuan perencanaan 4,20 %, kemampuan analisis 3,9 %, dan kemampuan operasional 86,1 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 0,2 %, kemampuan perencanaan 0,2 % , kemampuan analisis 0,2 %, dan kemampuan operasioanal 0,5%.

Sementara itu tenaga kerja ekspatriat mempunyai kemampuan managerial sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 21,2 %, kemampuan perencanaan 21,2 %, kemampuan analisis 15,2 %, dan kemampuan operasioanal 42,4 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 0 %, kemampuan perencanaan 0%, kemampuan analisis 0 %, dan kemampuan operasioanal 0 %.

Pada perusahaan-perusahaan Jasa, data kemampuan managerial yang diperoleh adalah sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 16,1 %, kemampuan perencanaan 10,9 %, kemampuan analisis 8,5 %, dan kemampuan operasioanal 37,4 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 4,5 %, kemampuan perencanaan 2,1 %, kemampuan analisis 5,2 %, dan kemampuan operasional 15,2 %.

C. Keragaman Etnis Tenaga Kerja Di Batam
Etnis Tenaga kerja lokal di Batam dibedakan 4 (empat ) kelompok besar yaitu dari etnis Jawa dan Sunda, Etnis Melayu (masyarakat tempatan), Etnis Sumatera dalam hal ini diwakili oleh Batak dan Minang serta etnis lainnya selain ketiga kelompok diatas, yang termasuk dalam kelompok keempat ini adalah Etnis di Sumatera selain Batak/Minang, etnis di Kalimantan, Etnis Bali, Sunda, Lombok, Flores, Maluku, Sulawesi, Irian dan lain-lainnya.

Sedangkan untuk tenaga ekspatriat dibedakan atas 5 (lima) kelompok yaitu dari warga negara Singapura, Jepang, Amerika/ Eropa, Malaysia/ Philipina serta kelompok selain keempat kelompok tersebut.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk tenaga kerja lokal didominasi oleh tenaga kerja dari etnis Jawa sebesar 51,65 %, sedang etnis Sumatera sebesar 30,75 %, etnis Melayu (masyarakat tempatan) sebesar 6,47 % dan etnis lainnya sebesar 15,40 %. Hal ini berlaku umum pada perusahaan-perusahaan tempat penelitian.

Tenaga ekspatriat paling banyak berasal dari Jepang sebesar 64.15 %, Malaysia/ Philipina sebesar 13.1 %, Amerika/Eropa sebesar 4.5 % dan Singapura 13.21 %, lainnya 3.26%. Hal inipun juga terjadi baik pada Perusahaan elektronik, perkapalan maupun jasa.

Untuk Tenaga kerja lokal secara umum sebagian besar etnis Jawa menempati posisi/ jabatan teknisi dan operator sebesar 52.76. % , sebagian besar etnis Minang/ Batak menempati posisi/ jabatan operator sebesar 28.5 %, sebagian besar etnis Melayu menempati posisi/ jabatan operator sebesar 4 % dan etnis lainnya menempati posisi/ jabatan operator sebesar 5.7 %.

D. Usia Tenaga Kerja.
Dari sejumlah tenaga kerja yang ada baik tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja ekspatriat, sebagian besar yaitu 78.7 % berumur kurang 25 tahun. Dari hasil studi ini bisa kita ketahui bahwa untuk level tertentu yaitu Top Manager, Mid Manager di dominasi tenaga kerja yang telah cukup matang usianya baik berasal dari tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja ekspatriat. Sedang untuk level Yunior manajer, Line supervisor , dan lainnya didominasi oleh tenaga kerja muda yaitu usia dari 25 sampai 40 tahun sebanyak 15.6 %.

Sebagai daerah yang ditetapkan sebagai kawasan industri yang sekaligus merupakan kawasan borderless, daya dukung sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan permintaan tenaga kerja memiliki potensi yang besar dalam hal jumlah (kuantitas). Hal ini tampak dari tingkat pertumbuhan penduduk yang pada akhir semester kedua tahun 2001 diprediksikan mencapai pertumbuhan lebih dari dua kali lipat dibanding semester pertama tahun yang sama.

Potensi yang besar dalam hal jumlah ternyata tidak diikuti dalam hal jenis (kualitas) sumber daya manusianya. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya angka koefisien korelasi pertumbuhan penduduk yang besarnya hanya 15,44 % (0,1544), yang menunjukkan bahwa setiap pertambahan 100 orang penduduk baru, yang terserap dalam lapangan kerja hanya 15 orang saja.

Selain indikasi yang ditunjukkan diatas, tampak juga dari jenis lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja ternyata 70 %-nya ada pada kesempatan kerja yang membutuhkan ketrampilan teknis serta lebih dari 83 % kesempatan kerja untuk tenaga kerja berlevel paling rendah (lowest managerial level), 16 % tenaga kerja berlevel menengah dan sisanya ( hanya 1 %) pada level atas (top).

Apa yang Harus dilakukan ?
Proses pemberdayaan tenaga kerja secara kualitatif baik keterampilan teknis, human relation dan keterampilan manajerial setidaknya harus melibatkan pemerintah (dalam hal ini Pemko Batam dan Otorita batam) dan Pihak Pengusaha/investor. Perlu diakui, bahwa ada sebagian perusahaan investor yang mempunyai program peningkatan kualitas tenaga kerja lokal melalui inhouse training dan program magang ke negara asal investor namun jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja lokal yang ada, dan pada kenyataannya sebagian besar perusahaan investor tidak mempunyai program peningkatan kualitas tenaga kerja. Dalam hal ini peran pemerintah sangat diperlukan.

 

Sumber : http://www.adenasution.com/index.php?option=com_content&view=article&id=70:potret-tenaga-kerja-kota-batam-&catid=1:tenaga-kerja&Itemid=56

 

 

'Melawan' Tingginya Angka Kelahiran dan Urbanisasi Di Batam

Rabu, 25 Pebruari 2009

 

BATAM CENTRE-Duet kepemimpinan Drs H Ahmad Dahlan sebagai Walikota Batam dan Ir H Ria Saptarika sebagai Wakil Walikota Batam, pada 1 Maret 2009, genap tiga tahun. Sementara itu hasil pendataan kependudukan Kota Batam pada Desember 2008, yang menyatakan jumlah penduduk Kota Batam sebanyak 908.110 jiwa menjadi tantangan yang besar bagi kesuksesan duet Ahmad Dahlan dan Ria Saptarika.

Kepemimpinan Dahlan-Ria yang didukung penuh jajaran Pemerintahan Kota (Pemko) Batam berupaya bahu-membahu menselaraskan tingginya angka urbanisasi dan kelahiran di Kota Batam dengan program-program pembangunan di berbagai bidang.

Program pembangunan itu diantaranya meliputi infrastruktur, ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, penyediaan lapangan pekerjaan dan lain sebagainya, termasuk pemekaran wilayah kecamatan dan kelurahan demi untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan.

Sehubungan dengan beratnya tantangan yang dihadapi, maka di tahun ketiga kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan langsung masyarakat Batam tersebut, beberapa kebijakan umum yang menyangkut pelaksanaan tata kelola birokrasi pemerintahan yang baik, telah dirancang, dan diterapkan berdasarkan Visi Kota Batam, yakni "Batam Menuju Bandar Dunia yang Madani dan Menjadi Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Nasional".

Kepala Bagian Humas Kota Batam, Yusfa Hendri, Selasa (24/2)  mengatakan visi kota yang begitu mulia, pada penjabarannya terkandung niat dan upaya untuk mengembangkan Kota Batam sebagai kota pusat kegiatan industri, perdagangan, pariwisata, kelautan dan alih kapal yang mempunyai akses ke pasar global.

Cita-cita besar ini muaranya membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Batam, baik mereka yang bermukim di wilayah hinterland (pesisir) maupun kawasan mainland (perkotaan).

Adapun Misi Kota Batam dalam mewujudkan Batam sebagai Bandar Dunia Madani dan Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Nasional antara lain: Pertama; Mengembangkan Kota Batam sebagai Kota pusat kegiatan industri, perdagangan, pariwisata, kelautan dan alih kapal yang mempunyai akses ke pasar global dalam suatu sistem tata ruang terpadu yang didukung oleh infrastruktur, sistem transportasi, sistem Teknologi Informasi (IT) dan penataan lingkungan kota yang bersih sehat, hijau dan nyaman.

Kedua; Meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui fasilitasi pengembangan dan pembinaan  usaha Mikro Kecil dan menengah (UMKM), koperasi dan investasi yang didukung oleh iklim / situasi usaha yang kondusif berlandaskan supremasi hukum.

Ketiga; Meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat hinterland dan masyarakat miskin melalui penyediaan fasilitas infrastruktur dasar, penataan dan pembinaan usaha sektor informal serta penanggulangan masalah sosial.

Keempat; Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, menguasai IPTEK dan bermuatan IMTAQ melalui peningkatan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyakat serta pembinaan kepemudaan  dan olahraga

Kelima; Menggali, mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai seni budaya Melayu dan budaya daerah serta mengembangkan kehidupan kemasyarakatan yang harmonis, bertoleransi dan berbudi pekerti. Dan yang keenam; Mewujudkan pelaksanaan pemerintahan yang baik.

Melalui kerja keras dalam mewujudkan visi dan misi Kota Batam diharapkan pada gilirannya kepemimpinan Dahlan-Ria dapat meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan dan kesejahteraan warga Batam di tengah-tengah tinggi angka pertumbuhan penduduk di Kota Batam.

Selain itu, sesuai Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Batam 2006-2011, di bidang pemerintahan, pasangan Walikota Batam dan Wakil Walikota Batam, pada masa kepemimpinan 5 (lima) tahun ke depan, sesuai karakteristik wilayah bertekad untuk mewujudkan pelaksanaan pemerintahan yang baik, dengan fokus  rencana program untuk pelaksanaan bidang pemerintahan. (sm/ye/adv)

 

Sumber : http://sijorimandiri.net/fz/index.php?option=com_content&task=view&id=7766&Itemid=40

 

 

Menata Ruang, Menarik Investasi di Hinterland Kota Batam

 

Posted by H. Syamsul Bahrum, Ph.D

Kota Batam memiliki 339 buah pulau dan tujuh dari padanya berstatus FTZ di Pulau (Batam, Tonton, Nipah, Setokok, Rempang, Galang dan Galang Baru) dan dua buah pulau (Belakang Padang dan Bulang Lintang) diberi fasilitas  “CBT” sebagai Sentra Perdagangan Lintas Batas  (Cross Border Trade). Tiga Kecamatan berakiran “Ang”-Belakang Padang, Bulang Lintang dan Galang dari 12 Kecamatan terletak di hinterland Batam. Pulau-pulau terdepan (border  islands) ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan stratejik militer (Pulau Tolop, Takong dan Labun), aqua-tourisme (Pulau Lengkanak, Asam, Sue, Sekilak, Putri dan Air Manis), untuk wisata sejarah, ziarah, budaya, dan  olahraga air (Belakang Padang, Kasu, Terong dan Bulang Lintang), pengembangan pangkalan militer dan sentra bisnis (Pulau Karang Nipah), agro-bisnis (Pulau Kepala Jeri dan Bulan),  agro-wisata (Pulau Asah Besar, dan Lumba), kawasan perkuburan komersial dan wisata ziarah (Pulau Sambu Kecil)  dll.

Gugusan pulau-pulau kecil potensial ini bagaikan “Carrebean of the East”  yang apabila dikembangkan oleh Pemerintah bersama investor akan (1). Memperkuat struktur ruang bagi pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan (geo-strategic defence), (2). Meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir (coastal community) yang berdomisili di hampir 78 pedesaan nelayan (fishing villages) di sekitar wilayah perbatasan, (3). Meminimalisir disparitas pembangunan fisik dan sosial ekonomi antar kawasan (mainland dengan hinterland Batam), (4). Mempersempit segregasi sosial  antara kaum pendatang dengan penduduk lokal,  (5). Mengoptimalkan pengembangan ekonomi sekunder (off-farm jobs), diversifikasi usaha dan memperkecil pola-pola ekonomi rumah tangga yang non-produktif (subsistent economy) di sektor pertanian dn perikanan, (6). Menyeimbangkan sektor andalan produk unggulan  antara bidang industri di mianland Batam, dengan bidang pertanian (perkebunan, perikanan, peternakan) di hinterland Batam.

Untuk mengembangkan kawasan tersebut, maka diperlukan kebijakan pro-bisnis dan sekaligus meningkatkan basis perekonomian tradisional rakyat  setempat misalnya melalui (1). Penetapan tata ruang yang relevans dengan potensi Pulau-pulau yang idealnya diikuti oleh survei geologi, hidrologi, topografi, oceanografi, dan vegetasi sehingga arahan peruntukan (land-use) sesuai dengan potensi kawasan dan prospek investasi, (2). Memberi fasilitas fiskal (fasilitas  investasi/perpajakan ) dan non-fiskal (stabilitas kawasan,  infrastruktur, permudah pelayanan, dll.), (3). Penguasaan tanah oleh Pemerintah untuk kepentingan investasi agar dalam pengembangannya tidak dikuasai oleh mafia tanah atau spekulan yang berkedok investor,  (4). Mempersiapkan masyarakat agar bisa masuk ke bursa tenaga kerja non-pertanian melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang teknis operasional kerja yang dibutuhkan, (5). Memperbesar pengalokasian anggaran Pemerintah bagi penyiapan infrastruktur dasar masyarakat hinterland  (pendidikan, kesehatan, fasilitas pelatihan kerja, tenaga listrik pedesaan, sanitasi lingkungan dan air bersih, sarana perhubungan, dll.  Dan (6). Menjaga pelestarian lingkungan kawasan (hutan bakau, vegetasi darat, kawasan pantai, daerah aliran sungai, dan sumber daya air) bagi kesinambungan pembangunan (sustainable development).
Untuk itu perlu ada pembalikan strategi (riversed development), yang jika di wilayah perkotaan/mainland Kota Batam dikenal dengan pola masyarakat di sekitar pembangunan (the people around the development), sedangkan di pedesaan/hinterland Kota Batam mengadopsi model pembangunan di sekitar masyarakat (the development around the people). Pola pertama berimplikasi pada tingginya migrasi penduduk atau akselerasi urbanisasi populasi (hyper-urbanization) sekitar 9 %/tahun,  sehingga sampai Oktober 2008 Kota Batam berpenduduk 865.500 jiwa. Sebaliknya, kebijakan yang kedua  berimplikasi ganda yakni memperbesar penduduk tetap tinggal di pulau-pulau, dan mempermudah akses bagi mobilitas horizontal (spatial movement) atau mencari bekerja di perkotaan Batam dan mobilitas vertikal (income generating)  bagi penduduk lokal yang tetap tinggal dan bekerja di pulau-pulau.Suatu solusi efektif dari dua rencana aksi meminimalisir disparitas spasial, segregasi sosial dan segmentasi sektoral antara ”Batam Dalam/mainland” yang FTZ dengan ”Batam Luar/hinterland” yang non-FTZ. Suatu upaya mengintegrasikan konsep kesatuan pembangunan dalam kesatuan pemerintahan (One Developmental  Zone in One Governmental Region). Insya Allah.
categories: Economics



Batam, barelang, kepri, kepulauan riau, Indonesia, pariwisata, Singapore, Malaysia, TKI, TKW, migrasi, urbanisasi, migrant, migran, pekerja, muka kuning, worker, buruh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar